Membicarakan
tentang Banten tidak asing dalam telinga kita, Banten pernah di kenal
sebagai pusat peradaban Islam di tataran Sunda dengan berdirinya
Kerajaan Banten. Berdirinya Kerajaan Demak membawa pengaruh penyebaran
Islam begitu meluas di Pulau Jawa. Akulturasi budaya lokal dengan
nilai-nilai Islam begitu kentara dan kental dalam memberikan warna/corak
bagi masyarakat Indonesia, khususnya budaya Islam-Hindu. Datangnya
pihak asing dan menanamkan hegemoninya di Indonesia secara tidak
langsung kekuasaan pribumi mulai terganggu. Begitu halnya dengan Banten,
pasca runtuhnya Kerajaan Banten Islam, pengaruh Islam tidak serta merta
hilang dalam identitas budaya masyarakat Banten pada umumnya. Lebih
jauh dari itu ada perbedaan yang mencolok antara budaya Banten dengan
yang lainya. Maka dengan kata lain tulisan ini lahir sebagai pisau
analisis dalam membedah pola keagamaan masyarakat Banten secara sosial,
dan ritual keagamaan. Identitas budaya yang terbentuk dan berkembang
lama menjadikan identitas budaya tersendiri khususnya untuk warga Banten
sebagai symbol kesatuan etentitas budaya masyarakat Banten.
Masyarakat
Islam Banten, dalam tradisi keislaman di Indonesia pada masa lalu,
dikenal lebih sadar-diri dibandingkan dengan daerah lainnya di Jawa.
Perbandingan itu mungkin juga berlaku terhadap kebanyakan wilayah di
Nusantara. Beberapa hasil observasi menunjukkan kebenaran reputasi ini.[1] Di
Banten yang pernah menjadi pusat kerajaan Islam dan penduduknya
yang terkenal sangat taat terhadap agama, sudah sewajarnya kyai
menempati kedudukan yang signifikan dalam masyarakat. Kyai yang
merupakan gelar ulama dari kelompok Islam tradisional, tidak hanya
dipandang sebagai tokoh agama tetapi juga seorang pemimpin masyarakat.
Kekuasaannya seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal, terutama di
pedesaan. [2] Pengaruh
kyai melewati batas-batas geografis pedesaan berdasarkan legitimasi
masyarakat untuk memimpin upacara-upacara keagamaan, adat dan
menginterpretasi doktrin-doktrin agama. Selain itu, seorang kyai
dipandang memiliki kekuatan-kekuatan spiritual karena kedekatannya
dengan Sang Pencipta. Kyai dikenal tidak hanya sebagai guru di
pesantren, juga sebagai guru spiritual dan pemimpin kharismatik
masyarakat. Penampilan kyai yang khas merupakan simbol-simbol kesalehan.
Misalnya, bertutur kata lembut, berperilaku sopan, berpakaian rapih dan
sederhana, serta membawa tasbih untuk berdzikir kepada Allah. Karena
itu, perilaku dan ucapan seorang kyai menjadi panduan masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari.
Di samping kyai, Jawara merupakan kelompok lain yang juga menembus batas-batas hirarki pedesaan di Banten. [3]Jawara
dikenal sebagai seorang yang memiliki keunggulan dalam fisik dan
kekuatan-kekuatan untuk memanipulasi kekuatan supranatural (magic),
seperti penggunaan jimat, sehingga ia disegani oleh masyarakat. Sosok
seorang jawara memiliki karakter yang khas. Ia cukup terkenal dengan
seragam hitamnya dan kecenderungan terhadap penggunaan kekerasan dalam
menyelesaikan setiap persoalan. Karena itu, bagi sebagian masyarakat,
jawara dipandang sebagai sosok yang memiliki keberanian, agresif,
sompral (tutur kata yang keras dan terkesan sombong), terbuka
(blak-blakan) dengan bersenjatakan golok, untuk menunjukan bahwa ia
memiliki kekuatan fisik dan supranatural. [4]
Tradisi Islam di Banten
Memahami
Banten sebagai kota atau Provinsi (baru lahir) sekiranya kita harus
memahami demografi penduduk dan penganut Islam diberbagai daerah
terlebih dahulu, Banten yang terletak di bagian Barat pulau Jawa yang
melingkupi daerah kabupaten Lebak, Pandeglang, Serang, Cilegon dan
Tangerang. Di sebelah Utara terdapat laut Jawa dan sebelah Barat
terdapat selat Sunda. Sebelah Selatan terletak Samudera Indonesia dan
sebelah Timur terbentang dari Cisadane sampai Pelabuhan Ratu.
Pulau-pulau di sekitarnya yang masih termasuk wilayah Banten adalah:
pulau Panaitan, pulau Rakata, pulau Sertung, pulau Panjang, pulau Dua,
pulau Deli dan Pulau Tinjil. Kini jumlah penduduk Banten sekitar
8.098.277 orang dengan komposisi 95,89 % beragama Islam, 1, 03 %
beragama Katolik, 1, 59 % beragama Protestan, 0,22 % beragama Hindu,
1,15 % beragama Budha. Sisanya memeluk agama lokal (sunda wiwitan),
yakni orang-orang Baduy.[5]
Masyarakat
dan budaya Banten, terutama dengan alam dan budaya Islamnya, mungkin
hanya dapat dikenali dengan merunut kembali peristiwa sejarah
transformasi pusat administrative
politik dari Banten Girang di pedalaman yang berada di bawah
subordinasi Pakuan Pajajaran yang Hinduistik ke daerah pantai yang
sekarang dikenal dengan Banten Lama. Peristiwa transformasi tersebut
berlangsung pada tahun 1526 oleh Syarif Hidayatullah dan Maulana
Hasanuddin. Sejak itu embrio dan fondasi masyarakat dan budaya Banten
diletakkan dan ditetapkan dalam format yang berciri keislaman. Prof. Dr.
Hasan Muarif Ambari, Kepala Pusat Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas,
Depdikbud Rl) yang juga staf peneliti pada Pusat Pengkaian Islam dan
Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta
ini, dalam bukunya "Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis
Islam Indonesia" (penerbit Logos) memperlihatkan fase-fase pertumbuhan
perkembangan budaya Banten dalam panggung sejarah, dirunut dalam
fase-fase berikut:
(1).
Fase Pra-Sunda Islam (1400-1525). Pada masa itu Banten merupakan daerah
bawahan kerajaan Pakuan Pajajaran yang Hinduistis, yang berpusat di
Banten Girang (Kota Serang sekarang).
(2).
Fase awal Penyebaran Islam (1525-1619), suatu fase di mana Islam
disiarkan oleh Sunan Gunung Jati dari Cirebon dan Maulana Hasanuddin
yang beraliansi dengan Demak.
(3). Fase Keseimbangan Kekuatan, yakni satu fase tanpa adidaya di mana seluruh kekuatan politik dan ekonomi yang ada di Banten memiliki kekuatan yang seimbang (armada dagang Eropa, Ke-sultanan Banten, Cirebon, Batavia dan Mataram). Keseimbangan kekuatan ini di antaranya bisa dilihat dari beberapa peristiwa politik yang berlangsung saat itu, yang tidak memperlihatkan adanya do-minasi satu kekuatan politik tertentu terhadap kekuatan politik lain: yakni penyerangan Banten ke Batavia, blokade Belanda atas Teluk Banten, tumbuh dan kuatnya kekuasaan Sultan Ageng Tirta-yasa, dan pilihnya tingkat kemakmuran masyarakat Banten. Pada fase inilah, Banten mencapai puncak ketinggian budaya (tamaddun Islam).
(3). Fase Keseimbangan Kekuatan, yakni satu fase tanpa adidaya di mana seluruh kekuatan politik dan ekonomi yang ada di Banten memiliki kekuatan yang seimbang (armada dagang Eropa, Ke-sultanan Banten, Cirebon, Batavia dan Mataram). Keseimbangan kekuatan ini di antaranya bisa dilihat dari beberapa peristiwa politik yang berlangsung saat itu, yang tidak memperlihatkan adanya do-minasi satu kekuatan politik tertentu terhadap kekuatan politik lain: yakni penyerangan Banten ke Batavia, blokade Belanda atas Teluk Banten, tumbuh dan kuatnya kekuasaan Sultan Ageng Tirta-yasa, dan pilihnya tingkat kemakmuran masyarakat Banten. Pada fase inilah, Banten mencapai puncak ketinggian budaya (tamaddun Islam).
(4).
Fase Penguasaan (VOC) Belanda, pendirian Benteng Speelwik yang langsung
atau tidak langsung memperlihatkan wujud hubungan antara Banten dan
VOC, masih berkembangnya "kota" Surosowan dan lain-lain.
(5).
Fase Surut dan Jatuhnya Kesultanan Banten. Hindia Belanda terkena imbas
perang Napoleonik/Rep. Batavia, interval penguasaan Inggris
(1811-1816), pemindahan administrasi politik ke Serang Surosowan
dihancurkan, didirikannya Keraton Kaibon dan dipecahnya bekas wilayah
Kesultanan Banten menjadi tiga daerah setara Kabupaten (Banten Hulu,
Banten Hilir, dan Anyer) di bawah pengawasan landraad (setara residen),
pada tahun 1809 pembuatan jalan raya Daendells.
(6).
Fase Mutakhir. Setelah Kesultanan Banten dihapuskan oleh Belanda timbul
berbagai pergolakan, pemberontakan dan perlawanan rakyat dipimpin oleh
para ulama/bangsawan, bencana alam (meletusnya Krakatau dan wabah
penyakit sampar), pendudukan Jepang, perang kemerdekaan, dan sampai
sekarang memasuki masa pembangunan. [6]
Di
balik semua kilas balik sejarah ini, hal yang tetap hidup dan terus
mengakar pada masyarakat Banten adalah kultur Islam. Pesantren terus
menerus menghasilkan kader dan para ulama tetap berdakwah. Rakyat mulai
mengarahkan orientasi kepemimpinan dari raja/sultan kepada para
ulama/mubaligh/kyai. Dalam situasi seperti ini, yang bermula sejak
pertumbuhan Islam di Banten, budaya pesisiran dan budaya pedalaman di
daerah selatan Banten (kecuali daerah Baduy) terus menerus memantapkan
keislamannya. Oleh karena itu, dari segi budaya Banten dapat disetarakan
dengan masyarakat kota seperti Mataram dan Cirebon.
Di
sebagian masyarakat Jawa bagian Barat umumnya dan Banten khususnya,
keberadaan jawara memiliki rentetan sejarah yang sangat panjang. Jawara
bukanlah sosok penamaan yang baru muncul kemarin sore, keberadaannya
ditenggarai telah ada sejak zaman kerajaan Sunda berdiri yang hingga
kini masih tetap eksis, bahkan di Banten sendiri sejak abad ke 19
kelompok jawara telah menjadi bagian dari golongan elit masyarakat
selain kaum ulama dan pamong praja.
Sejarah
Islam di Banten tidak sekedar soal kejayaan masa lalu dalam hegemoni
semata, tetapi juga mengenai pengaruh Islam sebagai agama resmi
kesultanan, sehingga mengakibatkan hancurnya banyak kebudayaan
Hindu-Budha yang pernah ada dan sebagai ideologi perjuangan untuk
melawan pemerintah kolonial. Yang terakhir inilah mungkin, tanpa
mengesampingkan adanya ulama Banten yang menekuni bidang intelektual
seperti Syekh Nawawi al-Bantani, yang menyebabkan penyebaran Islam di
Banten dalam bidang intelektual tidak begitu menonjol.
Para tokoh agama, kyai termasuk di dalamnya, lebih sibuk mengurusi soal
bagaimana mengadakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Hal
demikian menimbulkan kesan bahwa sentimen keislaman di Banten sangat
kental, meskipun dalam pemahaman keislaman tidak begitu mendalam. Hal
seperti ini juga dapat terlihat dalam perilaku para jawara.
Dua
tokoh Sentral (Kyai-Jawara) inilah memberikan peranan yang penting
dalam memberikan warna yang menonjol dalam prespektif identitas budaya
masyarakat Banten, sehingga Banten lebih dikenal sebagai embrio
keagamaan-kanuragan. Dalam tulisan yang singkat ini penulis memfokuskan
dalam peranan Kiyai dan Jawara sebagai kaum elit yang mempunyai kharisma
tersendiri dalam persepsi masyarakat Banten. Peran kyai dalam
masyarakaat Banten pada masa kini tidak sepenting masa-masa yang lalu.
Arus modernisasi yang banyak mengagungkan kepada materi dan menuntut
profesionalisme dalam segala bidang, telah menempatkan kyai hanya
pada peran-peran yang berkaitan langsung dengan masalah keagamaan.
Sudah tidak banyak kyai yang memiliki peran yang menentukan di luar
masalah keagamaan, seperti pada masa kolonialisme atau pada masa awal
kemerdekaan RI dan zaman revolusi fisik tahun 1945-1950.
Berdasarkan perannya, kyai di Banten sering dibedakan menjadi “kyai kitab” dan “kyai hikmah.”[7] Kyai
kitab ditujukan kepada kyai atau guru yang banyak mengajarkan ilmu-ilmu
tekstual Islam, khususnya yang dikenal dengan kitab kuning. Seperti
kitab-kitab tafsir al-Qur’an, kitab-kitab Hadits, kitab-kitab fiqh dan
ushul fiqh, kitab-kitab akidah akhlak serta kitab-kitab gramatika Bahasa
Arab. Sedangkan, “kyai hikmah” adalah para kyai yang mempraktekkan
ilmu magis Islam. Yakni yang mengajarkan wirîd, zikr dan râtib, untuk
keperluan praktis, seperti permainan debus, pengobatan, kesaktian dan
kewibawaan. Meskipun demikian, pembedaan tersebut pada praktiknya tidak
memisahkan secara tegas. Banyak kyai yang mengkombinasikan kedua peran
tersebut dengan campuran yang berbeda-beda.
Perubahan
sosial yang cukup besar yang terjadi pada rakyat Banten telah merubah
persepsi masyarakat tentang peran-peran jawara. Bahkan, sebagian
masyarakat ada yang menginginkan istilah jawara dihilangkan, sehingga
citra budaya “kekerasan” yang selama ini melekat pada “orang luar”
terhadap masyarakat Banten bisa dihilangkan. Meskipun demikian,
peran-peran sosial dan politik yang dimainkan oleh orang-orang yang
selama ini dikenal “jawara” saat ini sangat besar di wilayah Banten.
Para tokoh jawara, yang kini menamakan dirinya pendekar, menduduki
sektor-sektor penting dalam bidang ekonomi, sosial dan politik di
Banten. [8]
Peran-peran
tradisional sosial jawara dalam masyarakat Banten berlangsung turun
naik. Hal ini pula yang merubah persepsi masyarakat terhadap jawara.
Pada waktu situasi sosial yang kurang stabil, peran jawara biasanya
sangat penting, tetapi ketika masyarakat dalam keadaan damai peran
mereka kurang diperlukan. Bahkan sering dipandang negatif karena
perilakunya yang sering melakukan kekacauan dan kekerasan dalam
masyarakat dan melakukan tindakan kriminal. [9]
Namun demikian peran-peran sosial yang sering dimainkan oleh para
jawara adalah di seputar kepemimpinan seperti menjadi jaro (lurah),
penjaga keamanan desa (jagakersa) dan guru silat dan guru ilmu magis.
Kedudukan
dan peran sosial kyai dan jawara tersebut tidak bisa dilepaskan dari
adanya jaringan sosial antar mereka. Jaringan sosial tersebut terbentuk
dari hubungan adanya hubungan emosional yang dekat, yakni melalui jalur
kekerabatan, hubungan guru-murid (seguru-seelmu) dan berbagai
lembaga-lembaga sosial lainnya. Dalam masyarakat yang tradisional atau
yang sedang dalam transisi, seperti masyarakat Banten, jaringan sosial
itu terbentuk dengan cara-cara yang alamiah sehingga memiliki derajat
hubungan emosional dan solidaritas yang tinggi. Jaringan-jaringan sosial
itu terbentuk melalui hubungan kekerabatan, guru-murid dan
lembaga-lembaga sosial tradisional lainnya. Hubungan sosial yang
demikian dalam istilah Durkheim disebut dengan “solidaritas mekanis.” [10]
Untuk mempertahankan hubungan sosial tersebut muncul mitos-mitos bagi
para pelanggarnya. Sehingga setiap individu dari komunitas tersebut
tetap mematuhi aturan sosial tersebut. Pelanggaran terhadap norma sosial
dalam masyarakat tradisional dipandang akan merusak tatanan sosial yang
lebih luas, yang akhirnya akan menimbul chaos atau kekacauan. Demikian pula dengan kyai dan jawara dalam mempertahankan status sosial (status quo)
mereka. Mereka membuat aturan-aturan tertentu yang dapat mempertahankan
status sosial mereka yang diiringi dengan mitos-mitos tertentu bagi
para pelanggarnya, aturan-aturan adalah ijazah dan kawalat.[11]
Penjelasan
di atas tentang peran-peran yang dimainkan oleh kyai dan jawara serta
jaringan sosial yang dibangun oleh kedua menggambarkan dalam tahapan
yang lebih lanjut bahwa kedua kelompok masyarakat tersebut memiliki
kultur yang berbeda dalam lingkupan kebudayaan Banten. Kyai lebih banyak
berperan sebagai tokoh masyarakat dalam bidang sosial keagamaan.
Sedangkan, jawara lebih banyak berperan dalam lembaga adat pada
masyarakat Banten. [12]
Kyai
dan jawara merupakan sumber kepemimpinan tradisional informal, terutama
masyarakat pedesaan. Dalam masyarakat yang masih tradisional,
sumber-sumber kewibawaan pemimpin terletak pada:(1)pengetahuan (baik
tentang agama dan masalah keduniawian/sekuler atau kedua-duanya), (2)
kesaktian, (3) keturunan dan (4) sifat-sifat pribadi. [13] Kyai
mewakili kepemimpinan dalam bidang pengetahuan, khususnya keagamaan.
Sedangkan, jawara mewakili kepemimpinan berdasarkan kriteria keberanian
dan kekuatan fisik (kesaktian). Dalam hubungan sosial bersifat
integratif, jawara membutuhkan kyai sebagai sebagai tokoh agama dan
sumber kekuatan magis. Sebagai tokoh, kyai merupakan alat legitimasi
yang penting dalam kepemimpinan jawara. Tanpa dukungan dari para kyai
jawara akan sulit untuk menjadi pemimpin formal masyarakat. Sedangkan,
kepentingan kyai terhadap jawara adalah bantuannya, baik fisik atau
materi. Seorang jawara yang meminta elmu (kesaktian
dan magis) dari kyai, ia akan memberikan sejumlah materi, seperti uang
atau benda-benda berharga, yang dinamakan dengan salawat. Pemberian salawat kepada kyai dipandang sebagai penebus “berkah” kyai yang telah diberikan kepadanya.
Kedudukan Jawara dan Kyai
Kyai
dan jawara merupakan sub-kelompok masyarakat yang memainkan peran
penting di Banten hingga saat ini. Meskipun peran dan kedudukan
tradisional mereka terus digerogoti arus modernisasi yang semakin
hegemonik. Desakan modernisasi telah merubah tata kehidupan dan
moralitas masyarakat Banten, sehingga dampaknya tidak hanya berpengaruh
pada pendapatan dan produksi, tetapi juga pada perubahan identitas,
aspirasi dan otoritas.[14]
Namun demikian, perubahan-perubahan tersebut tidak sampai menghancurkan
semua kedudukan dan peran sosial mereka secara menyeluruh. Kyai sampai
kini tetap merupakan salah satu orang yang dihormati oleh masyarakat.
Di samping tokoh-tokoh lain, seperti tokoh politik para pejabat
pemerintah dan pengusaha.
Demikian
pula jawara, selain berusaha untuk tampil lebih ramah sehingga bisa
diterima masyarakat, mereka kini tidak hanya memainkan peran tradisional
mereka, tetapi juga merambah pada sektor-sektor ekonomi dan politik di
Banten. Apalagi setelah Banten menjadi sebuah propinsi yang mandiri,
lepas dari wilayah Jawa Barat, peran jawara dalam percaturan bidang
politik dan ekonomi memainkan peran yang sangat besar.
Kedudukan
Jawara dan Kyai dalam tulisan ini, penulis mengkerucutkan pada
pembagian peran dan kedudukan Kyai dan Jawara secara sosio-kultural,
untuk memahaminya adalah sebagai berikut :
1. Peran Sosial-Kultural Kyai
a. Guru Ngaji
Peran
kyai yang paling awal adalah mengajarkan pembacaan al-Qur’an dengan
baik kepada para santrinya. Tugas kyai dalam hal ini adalah mengajarkan
pembacaan huruf-huruf hijâiyyah dan kaidah-kaidah pembacaan al-Qur’an yang benar, yang dikenal dengal ‘ilm tajwîd. Dalam
tahapan yang lebih maju kyai mengajarkan tentang beberapa metode
pembacaan ayat-ayat al-Qur’an dengan suara indah, yakni untuk para qâri dan qâriah yang memiliki bakat suara yang baik. Selain itu juga para qâri dan qâriah diajarkan aliran-aliran atau madzhab-madzhab pembacaan ayat-ayat al-Qur’an.
Sekarang
ini, peran guru ngaji tidak hanya dilakukan oleh seorang kyai yang
memiliki pesantren, tetapi juga oleh para santri, yang biasanya
dipanggil ustâdz, yang pernah mengeyam pendidikan pesantren dan
memiliki kemampuan membaca al-Qur’an dengan baik sesuai dengan
kaidah-kaidah pembacaannya dalam ‘lmu tajwîd. Pelaksanaan pengajarannya biasanya diselenggarakan di rumah ustâdz atau
di mushola yang terdekat dengan kediamannya. Pengajaran al-Qur’an
dilakukan pada waktu-waktu selesai sholat lima waktu, seperti: setelah
sholat magrib, subuh dan ashar. Para pesertanya biasanya anak-anak dan
kaum remaja di sekitar kediaman ustâdz tersebut.
b. Guru Kitab
Seorang
santri yang telah lancar membaca ayat-ayat al-Qur’an, mulai berkenalan
dengan kitab-kitab Islam klasik. Memang tugas utama seorang kyai di
pesantren adalah mengajarkan kitab-kitab Islam klasik, terutama
karangan-karangan ulama fiqh yang bermadzhab Syafi’i. Pengajaran membaca
al-Qur’an, meskipun dilaksanakan di pesantren-pesantren, yang biasanya
masih kecil dan belum terkenal, sebagai dasar dari suatu proses
pendidikan, bukan tujuan utama sistem pendidikan pesantren. Tujuan
utamanya adalah setiap santri diharapkan memiliki kemampuan dalam
memahami kitab-kitab Islam klasik, yang dikenal dengan kitab kuning.
c. Guru Tarekat
Seorang
kyai yang kharismatik selain mengajarkan kitab-kitab klasik, seperti
yang telah diterangkan terdahulu, juga mengajarkan praktek tarekat.
Pengajaran tarekat di Banten memiliki sejarah yang sangat panjang.
Sebuah “pesantren” tua yang terkenal bernama Karang, yang terletak di
sekitar Gunung Karang, sebelah barat kota Pandeglang sekarang diduga
telah mengajarkan tarekat Qodariyah. Dalam Serat Centhini, dijelaskan
bahwa sang pertapa yang bernama Dandarma, mengaku telah belajar tiga
tahun di Karang di bawah bimbingan seorang guru “Seh Kadir Jalena”; yang
diduga dimaksudkan ia belajar ilmu atau ngelmu yang dikaitkan dengan sufi besar Abd al-Qadir Al- Jailani.
Hal tersebut juga dikuatkan dengan tokoh utama dalam Serat Centhini, Jayengresmi alias Among Raga yang berguru di sebuah perguron di
Karang di bawah bimbingan seorang guru yang berasal dari Arab bernama
Syaikh Ibrahim bin Abu Bakar, yang lebih dikenal sebagai Ki Ageng
Karang.[15]
Oleh karena itu wajar apabila para tarekat sudah sangat dikenal di
lingkungan istana kesultanan Banten semenjak awal didirikannya
kesultanan itu. Pendiri kerajaan Banten, Maulana Hasanuddin, telah
dibai’at untuk menganut dan mempraktekkan wirid tarekat Naqsabandiyah.[16]
d.Guru Ilmu Hikmah (Ilmu Ghaib)
Para kyai yang menjadi mursyid suatu
tarekat tidak hanya dikenal sebagai pemimpin atau guru tarekat tetapi
juga dikenal sebagai guru ilmu hikmah atau ilmu-ilmu ghaib. Banten
hingga kini memiliki reputasi yang cukup dikenal sebagai daerah tempat
bersemayamnya ilmu-ilmu gaib sehingga tidak sedikit orang Banten yang
memanfaatkan reputasi ini dengan bertindak sebagai juru ramal, pengusir
setan, pengendali roh, pemulih patah tulang, tukang pijat dan tabib,
pelancar usaha untuk mendapat kekayaan, kedudukan dan perlindungan
supranatural serta kedamaian jiwa.
Kyai
yang dikenal sebagai guru ilmu hikmah di Banten adalah Ki Armin (K.H.
Muhamad Hasan Amin) dari Cibuntu, Pandeglang. Beliau adalah kemenakan
dari Kyai Asnawi Caringin, guru tarekat Qodariyyah wa Naqsabandiyah yang
sangat terkenal di Banten. Banyak cerita yang tersebar di kalangan
rakyat tentang kekuatan-kekuatan ajaib diseputar kyai ini, seperti
kemampuannya untuk melihat apa yang belum terjadi, karier yang cepat
atau kekayaan yang datang secara tiba-tiba yang terjadi kepada beberapa
orang yang telah mendapatkan restunya. Kyai lain yang juga dikenal
memiliki ilmu hikmah adalah Ki Dimyati, yang memimpin sebuah pesantren
di Cisantri, Pandeglang.
e. Mubaligh
Seorang
kyai tidak hanya tinggal diam di pesantren mengajarkan kitab-kitab
klasik kepada para santrinya atau menetap di suatu tempat dan umatnya
datang untuk minta nasehat, doa dan kebutuhan praktis lainnya. Kyai juga
aktif melakukan ceramah agama kepada masyarakat luas secara
berkeliling, sehingga disebut dengan mubâligh (orang yang menyampaikan pesan agama Islam).
Dalam pemberontakan di Cilegon yang terjadi pada tahun 1888, peran para mubaligh sangat penting dalam memobilisasi massa untuk melakukan pemberontakan. Para kyai, yang terdiri dari para guru tarekat, para syarîf dan sayyid,
banyak berkhutbah secara berkeliling untuk melakukan pembinaan
kerohanian masyarakat. Disadari, hal tersebut turut memberikan pengaruh
yang sangat besar dalam meningkatkan kehidupan kerohanian rakyat. [17]
2. Peran Sosial-kultural Jawara
a. Jaro
Di daerah pedesaan di wilayah Banten terdapat pengurus desa yang dikepalai oleh seorang kepala desa yang sering disebut jaro.[18] Seorang jaro memimpin sebuah kejaroan (kelurahan). Pada zaman Kesultanan Banten, kepala desa (jaro) diangkat oleh Sultan. Tugas utama jaro adalah mengurus kepentingan kesultanan, seperti memungut upeti dan mengerahkan tenaga untuk kerja bakti.[19] Dalam pekerjaan sehari-harinya, seorang jaro dibantu oleh pejabat-pejabat, yakni: carik (sekretaris jaro),
jagakersa (bagian keamanan), pancalang (pengantar surat), amil
(pemungut zakat dan pajak), merbot atau modin (pengurus masalah
keagamaan dan mesjid).
b. Guru silat
Sejarah ilmu persilatan di Banten memiliki akar yang sangat panjang. Di dalam Serat Centhini disebutkan bahwa pada masa pra-Islam telah dikenal istilah “paguron” atau “padepokan” di daerah dekat sekitar Gunung Karang, Pandeglang.[20] Dalam masyarakat Banten dikenal berbagai macam perguron, seperti Terumbu, Bandrong, Paku Banten, Jalak Rawi, Cimande, Jalak Rawi, si Pecut dan sebagainya. Setiap perguron memiliki jurus-jurus dan karakteristik yang berbeda-beda bahkan sejarah kelahirannya. Kini semua perguron
tersebut ada dalam sebuah P3SBBI (Persatuan Pendekar Persilatan dan
Seni Budaya Banten Indonesia) di bawah pimpinan H. Tb. Chasan Sochib.
c. Guru Ilmu Batin (Magis)
Kecenderungan
terhadap kekuatan supranatural seperti di daerah Banten ini, memang
memiliki akar yang sangat dalam. Sebelum Islam datang ke daerah ini
sudah ada para resi yang melakukan tapa, yakni sebuah
praktik meditasi untuk mendapatkan kesaktian. Bahkan, diceritakan pula
bahwa Sultan Hasanuddin sebelum menguasai daerah Banten ini melakukan tapa di
tempat-tempat yang selama ini dianggap sebagai pusat kosmis di Banten,
yakni Gunung Pulosari, Gunung Karang dan Pulau Panaitan sebelum ia
berangkat ke Mekkah untuk melakukan ibadah haji.[21]
Bentuk-bentuk elmu yang sering dipergunakan para jawara adalah brajamusti (kemampuan untuk melakukan pukulan dahsyat), ziyad (mengendali sesuatu dari jarak jauh), jimat atau rajah untuk mencari kewibawaan, kekayaan atau dicintai seseorang, putter gilling (untuk memutar kembali atau menemukan kembali orang yang hilang atau kabur), elmu (untuk menaklukan binatang yang berbisa atau berbahaya) dan sebagainya.
d. Pemain Debus (Seni Budaya Banten)
Di Banten ada beberapa macam debus, yakni debus al-madad, surosowan dan langitan. Dinamakan debus al-madad (artinya meminta bantuan atau pertolongan) karena para pemainnya setiap kali melakukan aksinya selalu mengucapkan kata-kata al-madad, yang seolah menggambarkan bahwa tindakan ini didasarkan atas pertolongan dari Allah SWT. Debus al-madad
merupakan debus yang paling berat karena untuk melakukan permainan ini
khalifahnya (pemimpin group) harus melakukan amalan yang sangat panjang
dan berat. Amalan-amalan khalifah debus ini diambil dari tarekat
Rifa’iyah atau Qodariyah. Sehingga seseorang yang mendapat ijazah untuk
menjadi khalifah dari permainan debus ini adalah mereka yang telah
dianggap mampu atau lulus menempuh suatu perjalanan panjang dalam
mengamalkan suatu do’a-do’a tertentu, melaksanakan puasa dan meditasi
lama.
Berdasarkan
tulisan di atas dapat disimpulkann, bahwa adanya kedudukan, peran dan
jaringan membuat kyai dan jawara menciptakan kultur tersendiri yang agak
berbeda dengan kultur dominan masyarakat Banten, sehingga kyai dan
jawara tidak hanya menggambarkan suatu sosok tetapi juga telah menjadi
kelompok yang memiliki nilai, norma dan pandangan hidup yang khas.
Itulah subkultur kyai dan jawara. Kyai sebagai salah satu sumber
kepemimpinan tradisional dalam masyarakat Banten kini mengalami
tantangan kehidupan modernisasi yang serius. Tak dapat dipungkiri bahwa
peranan kyai dalam sejarah masa lalu masyarakat Banten sangat besar,
namun ke depan menjadi sebuah tanda-tanya. Peranan kyai mungkin hanya
akan menjadi catatan masa lalu, apabila pemberdayaan dan peningkatan
wawasan terhadap mereka tidak dilakukan. Demikian pula dengan jawara.
Kehidupan jawara yang sering dipresepsikan masyarakat secara negatif
perlu ada orientasi baru. Meskipun usaha-usaha itu telah dilaksanakan
oleh kalangan mereka sendiri, namun perubahan itu baru dalam tahapan
simbol, yakni perubahan nama dari “jawara” ke “pendekar.” Secara
substantsial nampaknya belum banyak berubah, bahkan budaya tersebut
justru digunakan oleh sekelompok orang untuk meraih
kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik. Maka, pencerahan melalui
pendidikan terhadap para jawara justru akan menjadikan aset penting bagi
peningkatan apresiasi terhadap kebudayaan Banten agar tidak bersikap
ahistoris.
1.Martin van Bruinessen. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, cet. III,.Bandung: Mizan.hlm. 1999. 246.
[2] Ibid, hlm 83
[3] Sartono Kartodirdjo. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya. 1984. hlm.84.
[4]M.A. Tihami. Kepemimpinan Kyai dan Jawara di Banten, dalam Tesisi Magister UI. 1992
[5]
Berdasarkan Sensus Tahun 2000. Lebih jauh lihat Banten dalam Angka
tahun 2000,Bapeda Propinsi Banten dan Badan Pusat Statistik Kabupaten
Serang, 2000.
[6] http://babadbanten.blogspot.com/2011/07/sejarah-banten-kronologi-waktu.html diakses pada tanggal 08 Mei 2012, pukul 01.02 WIB
[7] Lebih jauh lihat Martin van Bruinessen, op.cit., hlm. 279.
[8]
Sebagai Contoh: H. Chasan Sochib seorang jawara yang kharismatik di
Banten memiliki lebih dari 20 jabatan penting, mulai sebagai ketua umum
pengurus besar pendekar, ketua umum satkar ulama, ketua umum Kadin
Banten sampai penasehat ikatan persaudaraan Lampung, Banten dan Bugis.
Lebih jauh lihat Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Chasan Sochib,
Beserta Komentar 100 Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar Banten¸ (Jakarta:
Pustaka Antara Utama, 2000). Dalam bidang politik pun, pengaruh jawara
sangat besar. Hal ini bisa dilihat dari terpilihnya Hj. Ratu Atut
Chosiyah, anak perempuan Chasan Sochib, sebagai wakil gubernur Propinsi
Banten untuk periode 2001-2006. Ada pendapat yang bisa dipahami oleh
masyarakat Banten, bahwa terpilihnya Joko Arismunandar sebagai gubernur
Propinsi Banten yang pertama, karena didukung oleh para tokoh jawara,
yakni dengan bersedianya didampingi oleh anak perempuan tokoh jawara
Banten, Hj. Ratu Atut Chosiyah.
[9] Sartono Kartodirjo,Op.cit. hlm. 83
[10] Steven Lukes, Emile Durkheim: His Life and Work. New York: Penguin Books. 1981. hlm.140.
[11] Lihat M.A. Tihami. Kyai dan Jawara di Banten. Op. Cit. hlm 181
[12] Edi. S. Ekadjati. Kebudayaan Sunda: Pendekatan sejarah. Jakarta : Pustaka Jaya. 1995. Hlm. 224
[13] Karl D. Jakson. Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan : Kasusu Darul Islam Jawa Barat. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. 1990. Hlm 24
[14] Robert W. Hefner, Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, (terj.) A Wisnuhardana & Imam Ahmad. Yogyakarta: LKiS, 1999. hlm. 1-2.
|
[15] Lebih jauh lihat Martin van Bruinessen, op.cit., hlm. 26
[16] Ibid., hlm. 265. Dalam Babad Banten diceritakan
bahwa Sunan Gunung Djati membawa putranya, Maulana Hasanuddin, ke
Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah selesai melaksanakan ibadah
haji mereka terus ke Madinah berziarah ke makam Nabi, dan di sinilah
Maulana Hasanuddin dibai’at menjadi penganut tarekat Naqsabandiyah.
Lebih jauh lihat Hoesein Djayadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten, (Jakarta: Djambatan, 1983), hlm. 34.
[18] Sebenarnya asal-usul kata jaro
tidak jelas dan semenjak kapan kata tersebut dipergunakan untuk
menunjukan suatu wilayah administrasi pedesaan. Menurut M.A. Tihami
bahwa jaro itu berasal dari bahasa Arab “jar” yang artinya
tetangga. Sebuah desa Banten pada zaman dulu memang mengelompok dalam
suatu daerah tertentu sehingga antar satu keluarga dengan keluarga
lainnya adalah bertetangga (jar). Sehingga suatu daerah yang
sudah dihuni oleh banyak keluarga dikenal dengan kejaroan, maka orang
yang menjadi pemimpin dari suatu kejaroan tersebut disebut jaro. Lihat M.A. Tihami, “Sistem Pemerintahan Desa Tradisional di Banten,” dalam Makalah pada Lokakarya Nilai Kaolotan Banten dalam Kerangka Desentralisasi Desa, Anyer-Serang, 11-13 April 2002.
[20] Martin van Bruinessen, op.cit., hlm. 25.
[21] Husein Djayadiningrat, op.cit., hlm. 34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar