Jaman pergerakan melahirkan
orator-orator hebat. Dengan kepiawaiannya mereka, para pemimpin pergerakan itu
berhasil membakar semangat massa. Maklum, pada jaman itu, jumlah penduduk
Indonesia yang bisa baca tulis masih sangat kurang. Makanya, pidato telah
menjadi sarana penting untuk membangkitkan rakyat.
Pada masa awal pergerakan, nama HOS Tjokroaminoto pantas disebut sebagai
salah satu orator terbaik di masanya. Soekarno, yang pernah jadi muridnya,
menyebut pidato Tjokro sanggup menghipnotis massa. “Suara Tjokro ketika
berpidato seperti nyanyian burung kenari,” kenang Soekarno.
Pada tahun 1920-an, Singgih, seorang aktivis Budi Utomo, juga disebut sebagai
seorang orator yang hebat. Pidatonya adalah bergaya humor, yaitu mewarani
pidato-pidatonya dengan lelucon-lelucon. Singgih pun mendapatkan gelar “Charlie
Chaplin” dunia pergerakan jaman itu.
Tokoh lainnya yang sering disebut-sebut adalah Amir Sjarifuddin. Surjono,
seorang pengikutnya di Pesindo, menggambarkan Amir sebagai orator yang tidak
mempunyai gaya yang sama seperti Sukarno: Soekarno mendasarkan kiat pidatonya
pada irama bahasa dan dampak suaranya, sedangkan gaya pidato Amir terletak pada
permainan citra-citra. Jika bicara tentang Surabaya, maka Amir sering
menggunakan kata-kata kiasan: kota Kalimas, kota Tanjung Perak, kota Gang
Ringgit, kota kemelaratan.
Masing-masing tokoh punya gaya tersendiri. Bung Karno juga begitu: orang
menyebut gaya Bung Karno terletak pada irama suaranya. Kapitsa M.S dan Maletin
N.P, penulis biografi politik Soekarno, menyebut Soekarno punya suara tember
barhat (berat empuk) yang menarik, dengan diapazoon yang sangat luas.
“Beberapa kata atau kalimat ia ucapkan dengan berbisik, dalam ketenangan
yang membeku, dan para hadirin dengan deg-degan menghirup kata-katanya.
Kadang-kadang suaranya bernada seperti tanda bahaya, seperti ajakan, seperti
teriakan komando dan orang-orang ndomblong seperti terhipnotis,
seperti terangkum oleh suatu semangat, dan dengan gemuruh mulai mengeluarkan
perasaannya,” tulis Kapitsa M.S dan Maletin N.P menggambarkan suara dan gaya
pidato Bung Karno.
Bung Karno juga ahli bahasa; ia menguasai banyak kosakata. Ia juga sering
membumbui pidatonya dengan metafora dan perumpamaan-perumpamaan. Seringkali,
supaya pendengarnya tidak jenuh, Soekarno memperkaya pidatonya dengan epos-epos
dan hikayat rakyat dari masa lalu. Ia juga sering mensitir perkataan
orang-orang besar dari berbagai belahan dunia: Gandhi, Sun Yat Sen, Karl Marx,
Lenin, Abraham Lincoln, Jen Jaures, Garibaldi, Giuseppe Mazzini, dan lain-lain.
Soekarno muda banyak belajar pidato pada gurunya, HOS Tjokroaminoto. Ia
sering diajak Tjokro menemaninya menghadiri rapat-rapat akbar. Dari pengalaman itu,
Soekarno muda banyak belajar dari gaya pidato Tjokroaminoto.
Soekarno muda juga sangat rajin membaca. Ia menyelami pemikiran-pemikiran
besar dunia: filsafat Yunani, revolusi Perancis, gerakan buruh Inggris,
pemikiran marxisme, dan lain-lain. Di sekolah, ia sering mendengar pelajaran
tentang pengadilan rakyat Yunani. Pelajaran itu sangat berkesan dalam
ingatannya. Ia membayangkan pemikir-pemikir yang sedang marah selagi berpidato
dan meneriakkan semboyan-semboyan seperti “Persetan dengan penindasan” dan
“Hidup Kemerdekaan”.
Malam, ketika pintu-pintu kamar kos Tjokro mulai tertutup, Soekarno pun
mengatraksikan pengadilan rakyat di dalam kamarnya. “Sambil berdiri di atas
mejaku yang goyah aku ikut terbawa perasaan. Aku mulai berteriak.” Penghuni
kamar yang lain pun terbangun dan mengintip Soekarno muda sedang belajar
berpidato.
Kedahsyatan pidato Bung Karno diakui banyak orang. Ia bisa membuat
pendengarnya tidak beranjak dari tempatnya meski diguyur hujan. Kemampuan
pidatonya juga bisa membuat orang yang bercerai-berai menjadi terkumpul rapat.
Dan, seperti diceritakannya dalam buku “Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat”,
ia sanggup membuat putri-putri keraton Solo berlarian mendengar pidatonya. Di
tengah pidato, tiba-tiba muncul ide dadakan Sukarno: ia melepas pecinya dan
menyerahkan kepada salah satu putri keraton untuk berkeliling mengumpulkan uang
untuk pergerakan.
Banyak pemimpin negeri lain juga mengagumi kemampuan berpidatonya. Presiden
Amerika Serikat kala itu, Richard M. Nixon, pernah mengatakan: “Ketika berada
di Indonesia, saya pernah menyaksikan Sukarno berpidato di depan rapat raksasa.
Ia memukau seluruh pendengarnya lebih dari satu jam, dan mengakhiri pidatonya
dengan berulang-ulang mengumandangkan pekik merdeka yang khidmat dan
menggetarkan. Massa menjawabnya “Merdeka!” berulang-ulang kali pula sampai
akhirnya berubah menjadi hiruk-pikuk histeris yang betul-betul hampir tidak
dapat dipercaya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar