Bung Karno bukan hanya politikus
hebat, bapak pendiri bangsa, pejuang yang gigih, dan mantan Presiden. Semasa
hidupnya, Bung Karno aktif dalam pergulatan pemikiran. Ia mewariskan
pemikiran-pemikiran besar, yang berguna bagi bangsa ini hingga sekarang.
Bung Karno muncul sebagai cendekiawan dalam usia masih muda. Itu terjadi di
tahun 1920-an. Pada usia 20 tahun, misalnya, ia sudah mulai bergulat dengan
upaya meletakkan marxisme dalam konteks Indonesia. Hasilnya adalah marhaenisme.
Kemudian, pada usia 25 tahun, Ia mengeluarkan tulisan yang cukup
berpengaruh, yakni Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Artikel
yang ditulis tahun 1926 itu berusaha mempertemukan kenyataan objektif dan
keharusan historis bagi bersatunya tiga aliran politik dalam perjuangan anti-kolonial
di Indonesia, yakni nasionalis, agamais, dan marxis.
Pada tahun 1930-an, Bung Karno menulis artikel berjudul “Demokrasi
Politik Dan Demokrasi Ekonomi”. Artikel inilah kelak yang melandasi
pemikiran Bung Karno untuk melahirkan dua pemikiran besar. Pertama,
sosio-nasionalisme, yakni konsepsi nasionalisme Indonesia yang bercita-cita
membangun masyarakat tanpa penindasan dan penghisapan. Kedua, sosio-demokrasi,
yakni konsep demokrasi alternatif yang berusaha mengawinkan antara demokrasi
politik dan demokrasi ekonomi.
Dan, menurut saya, bangunan pemikiran Bung Karno dibangun dari tiga
pemikiran besar ini: marhaenisme, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi. Tak
heran, Onghokham menganggap tahun 1920-an sebagai era paling kreatif dari
pembangunan pemikiran Bung Karno.
Saya setuju dengan pendapat Onghokham. Pancasila, yang dianggap satu
sumbangsih besar pemikiran Bung Karno dalam konsepsi kenegaraan kita, akarnya
adalah sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme. Konsep persatuan Nasakom
(Nasionalis-Agama-Komunis) juga berakar di tulisan Bung Karno pada tahun 1926, Nasionalisme,
Islamisme, dan Marxisme.
Memang, harus diakui, bahwa dalam membentangkan pemikirannya, Bung Karno
banyak mengutip pemikir marxis barat. Yang paling banyak dikutip adalah Karl
Marx, Karl Kautsky (Sosialis-Demokrat Jerman), Jean Jaures (Sosialis Perancis),
PJ Troelstra (Sosialis Belanda), dan Hendriette Roland Holst (pengarang kiri
Belanda).
Gara-gara itu, banyak peneliti dan sarjana barat mengeritik Bung Karno.
Mereka menganggap pemikiran Bung Karno tak orisinil. Bahkan, tak sedikit yang
menuding Bung Karno mengutip pemikir-pemikir barat itu secara salah, tidak
tepat, dan diluar konteks.
Salah satu yang berpendapat begitu adalah Bernhard Dahm, seorang
profesor sejarah di Universitas Passau, Jerman Barat. Dalam bukunya,
Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, Dahm mengoreksi kesalahan Soekarno
mengutip Karl Liebknecht dalam artikel “Mencapai Indonesia Merdeka”.
Di situ Bung Karno menulis: “kesengsaraan memang benar melahirkan
radikalisme massa, tetapi hanya kalau massa itu tidak memikul kesengsaraan itu
dengan diam-diam nrimo, melainkan berjuang habis-habisan melawan kesengsaraan
itu saban hari.”
Menurut Dahm, berdasarkan teks Jerman yang dikutip Soekarno dari Karl
Liebknecht, seharusnya begini: “kesengsaraan menjadu satu penyebab
radikalisasi massa, tetapi hanya dikarenakan massa itu tidak memikul
secara pasif kesengsaraan yang semakin bertambah itu.”
Kesalahan terjemahan ini, menurut Dahm, sangat berakibat fatal: yang bagi
Liebknecht merupakan penyebab, justru bagi Soekarno sebagai persyaratan. Saya
kira, yang salah di sini justru Dahm. Ia tidak menangkap apa yang dimaksud
Soekarno dan Liebknecht. Kesalahan Dahm itu disebabkan ia tak memahami apa itu
radikalisme. Radikalisme tidak bisa disamakan asal sekedar melawan. Bung Karno
jelas mengartikan radikalisme sebagai perjuangan menghancur-leburkan
imperialisme dan kapitalisme hingga ke akar-akarnya dan, kemudian,
memperjuangkan pembangunan masyarakat yang sama sekali baru; Sosialisme.
Artinya, kesengsaraan memang tidak serta (simultan) melahirkan radikalisme.
Tetapi, seperti ditegaskan oleh Soekarno dan Liebknecht, rakyat tidak menerima
penderitaan secara pasif (nrimo), melainkan melakukan perjuangan. Dalam
marxisme, ini disebut sebagai penolakan terhadap spontanisme.
Sebagai seorang intelektual, Bung Karno punya beberapa ciri yang cukup
menonjol. Pertama, kendati banyak menghirup pemikiran kaum marxis maupun
intelektual politik di barat, tetapi Bung Karno selalu memperhadapkan pemikiran
itu dengan realitas konkret di Indonesia.
Ini terlihat jelas dalam terobosan Bung Karno melahirkan Marhaenisme,
Sosio-Nasionalisme, dan Sosio-Demokrasi. Tiga pemikiran itu murni kreasi Bung
Karno. Tetapi dasar-dasar teoritiknya/analisisnya banyak dipengaruhi oleh
pemikiran dari luar, yakni marxisme.
Kedua, Bung Karno membaca banyak buku, majalah dan mengetahui banyak hal
melalui interaksinya dengan dunia luar. Menariknya, Soekarno selalu berhasil
menjelaskan apa yang diketahuinya dengan bahasa sederhana kepada rakyatnya. Ia
selalu ingin apa yang diketahuinya juga diketahui oleh rakyatnya.
Dalam banyak pidatonya, ia tak segan-segan mengutip pemikiran Marx, Lenin,
Trotsky, Abraham Lincoln, Otto Bauer, H Roland Holst, dan lain-lain. Tidak
jarang, agar pendengarnya gampang memahami teorinya, Bung Karno menggunakan
perumpamaan-perumpamaan, meminjam epos-epos, hikayat-hikayat rakyat, hingga
cerita-cerita pewayangan.
Bung Karno menggunakan pidato sebagai medium menyampaikan pesan dan menambah
khasanah pengetahuan rakyat. Ia mengulang-ulang banyak istilah penting, seperti
revolusi, sosialisme, anti-kolonialisme, anti-imperialisme, agar rakyat faham
istilah tersebut.
Karena itu, menurut pengajar filsafat Universitas Indonesia, Donny Gahral
Adian, Bung Karno bukan hanya seorang orator yang cemerlang, tetapi juga
seorang ideolog. “Tujuan orator itu hanya menyampaikan saja apa yang
dikepalanya. Sedangkan seorang ideolog ingin menanamkan apa yang disampaikannya
kedalam hati sanubari pendengarnya,” ujarnya.
Selain itu, seperti diakui penulis “Soekarno: Biografi Politik”, Kapitsa M.S
dan Maletin N.P, Bung Karno adalah ahli yang memahami jiwa dan psikologi massa.
Ia sanggup menangkap apa yang tersirat di dalam lubuk hati rakyatnya. Inilah
yang membuat Bung Karno menjadi tokoh politik yang paling dicintai oleh
rakyatnya.
Ketiga, Bung Karno tidak mengikat dirinya dalam satu arus pemikiran besar.
Kita tahu, Bung Karno selalu menyebut dirinya seorang marxis, tetapi tidak
pernah mengikatkan dirinya pada tendensi marxis tertentu—sosial-demokrat,
trotskys, maois, leninis, dan lain-lain.
Tetapi juga ia sering mempelajari tokoh-tokoh non-marxis, seperti Gandhi,
Abraham Lincoln, Bertrand Russell, Mazzini (Italia), dan lain-lain. Bung Karno
juga tidak jarang menggali nilai-nilai luhur dari bangsanya.
Namun, corak pemikiran Bung Karno bukan tanpa kekurangan. Banyak pemikiran
Bung Karno itu masih bersifat umum dan butuh elaborasi lebih lanjut. Sebut
saja, misalnya, konsep sosio-demokrasi. Bung Karno hanya mengulas konsep ini
dalam beberapa artikel dan pidato. Muncul masalah: ketika Bung Karno menolak
konsep demokrasi borjuis eropa, termasuk sistem parlementernya, lantas apa
alternatifnya? Ini belum terjawab dalam artikel-artikel dan pidato Bung Karno.
Karena itu, pemikiran Bung Karno perlu dikembangkan.
Terutama: bagaimana meletakkan pemikiran Bung Karno dalam konteks perkembangan
zaman sekarang ini
baguss...jangan lupa kunbal yah?
BalasHapushttp://suaramahasiswa98.blogspot.co.id/